NABI dalam kesadaran umat
Islam merupakan teladan dalam segenap hal (uswah hasanah). Dalam kata-kata
Iqbal, “Cinta kepada Nabi mengalir bak darah di dalam urat-urat umatnya” atau
dalam lukisan Rumi, “Inilah sahabatku, inilah dokterku, inilah guruku, inilah
obatku” (hadza habibi, hadza thabibi, hadza adibi, hadza dawa’i).
Sejarah mengajarkan bahwa
model kepemimpinan Nabi betul-betul telah mampu mengubah raut sejarah dari yang
semula primitif (jahiliah) menjadi beradab dalam waktu yang relatif singkat
selama 23 tahun. Yahdi minaz zulumati
ilan nur. Keberhasilan mengagumkan yang
tempo hari membuat seorang orientalis Hart dalam bukunya yang mengangkat
seratus tokoh yang telah mengubah dunia dia tidak ragu lagi menempatkan Muhammad
dalam urutan pertama.
Model kepemimpinan yang
dikembangkan Nabi intinya tidak lain dilandaskan pada moralitas yang kokoh.
Nabi sebagai seorang pemimpin umat dan masyarakat benar-benar mencitrakan
dirinya sebagai sosok yang memiliki akhlak mulia yang layak diteladani dalam
segenap hal. Malah moralitas ini pula yang menjadi tema dan daya tarik
“kampanye” dari risalah yang disosialisasikan sepanjang karir kenabiannya
sehingga mampu menyedot masyarakat untuk menjadi pengikut setianya tanpa
diiming-iming materi, menjadi jemaahnya dengan kerelaan berkorban yang luar
biasa. “Aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak,” jelas Nabi.
Moralitas atau akhlak
kepemimpinan seperti apa yang dikembangkan Nabi ini? Minimal kita dapat
mencatat ENAM HAL penting akhlak yang melekat dalam kepemimpinan Nabi :
Pertama, beliau adalah
sosok yang mampu meresapkan rasa keadilan yang merata kepada semua pihak tanpa
kecuali.
Keadilan di tangan Nabi tidak
pernah dikorbankan atas nama apa pun seperti terpantul dari ajaran-Nya, “Janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum membuat kamu tidak berlaku adil” (Q.S. 5:8).
Nabi sadar betul bahwa keadilan merupakan jendela guna mewujudkan masyarakat
yang sejahtera. Dalam bahasa Alquran, keadilan merupakan alat untuk merengkuh
takwa (Q.S. 5:8) dan takwa merupakan prasyarat terbukanya rezeki dari langit
(Q.S. 7:96).
Tercantum dalam sebuah
riwayat, suatu hari di Madinah terjadi skandal ekonomi yang melibatkan seorang
wanita dari elite lingkaran kekuasaan (al-mar’ah al-syarifah), kemudian para
sahabat berkumpul dan hasilnya diutuslah salah seorang dari mereka untuk
menemui Nabi dan meminta keringanan hukuman bagi perempuan ini.
Apa jawaban Nabi? Dengan tegas
Nabi mengatakan, “Camkan, sesungguhnya yang telah menghancurkan bangsa Yahudi
dulu adalah karena hukum telah bersikap pandang bulu. Ingat! Seandainya Fatimah
anak saya sendiri yang korupsi, maka saya sendiri yang akan memotong
tangannya!” Pemimpin yang adil kelak, kata Nabi, adalah “salah seorang dari
tujuh kelompok yang akan dilindungi di alam mahsyar.”
Kedua, Nabi benar-benar
memimpin dengan sentuhan rasa cinta, empati dan simpatik yang tiada tara yang
dipersembahkan kepada seluruh umatnya.
Begitu cintanya Nabi kepada
rakyatnya sampai-sampai kata-kata yang keluar dari mulutnya ketika hendak
mengembuskan nafasnya pun adalah simpul dari kecintaannya, “ummati… ummati…
ummati” (bagaimana nasib umatku kelak…). Bahkan lebih dari itu kecintaan juga
beliau alokasikan untuk binatang dan alam sebagaimana tergambar dari
kebijakannya yang membuat kawasan hima (cagar alam) di Madinah dan tanah haram
di seputar Mekah di mana di tanah ini siapa pun tidak diperkenankan membunuh
binatang bahkan mencabut sehelai rumput. Sebuah gambaran akan kesadaran
ekologis yang sangat mengagumkan.
Ketiga, Nabi adalah
pemimpin yang selalu berkata benar (shidiq).
Beliau sangat paham bahwa
kata-kata itu bukan hanya akan membawa pengaruh bagi lingkungan tapi juga dapat
membawa akibat kelak di akhirat. Beliau senantiasa berpedoman kepada prinsip,
“Apabila tidak bisa berkata benar dan jujur maka lebih baik diam”.
Keempat, beliau adalah
pemimpin yang selalu menjunjung tinggi amanah.
Beliau tidak pernah berjanji
kecuali janji itu ditepati. Al-amin atau orang yang terpercaya jauh-jauh hari
merupakan atribut yang melekat dalam dirinya. Sikap amanah yang diakui bukan
hanya oleh sahabat-sahabatnya sendiri bahkan oleh mereka yang berbeda keyakinan
sekali pun. Karena amanahnya setiap keputusan yang diambil selalu memuaskan
semua pihak.
Kelima, Nabi adalah
pemimpin yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata (fathanah).
Kata-kata yang keluar dari
mulutnya dan kebajikan yang diambilnya menjadi bukti ihwal kecerdasan Nabi.
Ketika Nabi berbicara walaupun sebentar, misalnya, maka kata-katanya itu
benar-benar menyimpan makna yang mendalam. Berbeda dengan kebiasaan kita,
kata-katanya panjang tapi miskin makna.
Keenam, Nabi selalu
bersikap transparan (tabligh).
Dia sampaikan setiap kebenaran
dan diluruskannya segala hal yang dianggap keliru. Di tangannya tidak ada
kebenaran yang disembunyikan. Lebih dari itu, dalam menyampaikan kebenarannya
pun, Nabi melakukannya dengan cara-cara yang bijaksana (al-hikmah) tutur kata
yang santun (al-mauidzhah al-hasanah) diiringi alasan dan logika yang kokoh
(al-mujadalah).
Itulah beberapa model
nilai-nilai kepemimpinan yang dikembangkan Nabi saw. sebagai modal dasar dalam
melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Nilai-nilai seperti itulah
sebenarnya yang seharusnya menjadi pertimbangan utama ketika kita memilih
pemimpin. Sebab bagaimana pun juga setiap kepemimpinan dan termasuk orang yang
mengangkatnya sebagai pemimpin semua akan dimintai pertanggungjawabannya
(kullukum ra’in wa kukullukum mas’ulun ‘an raiyyatih). Sekali kita mengkhianati
amanah kepemimpinan, maka sebenarnya kita telah melakukan pengkhianatan kepada
Rasul bahkan kepada Allah (Q.S. 8: 27-28).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar